Kamis, 08 Oktober 2015
makalah pengimpletasian NILAI NILAI PANCASILA DALAM BIDANG HUKUM
IMPLEMENTASI
NILAI NILAI PANCASILA DALAM BIDANG HUKUM

Kelompok 4
Ayudea
Dinda Windarti (04)
Firmansyah (08)
Novita
Intan Aina Salsabila (14)
Putri
Arifah Nur Isnaeni (15)
Safa
Aulia Insani (21)
Yuda
Kurniawan (24)
a.
Judul
b.
Daftar Isi
c.
BAB I Pendahuluan
1) Latar
Belakang Masalah
2) Rumusan
Masalah
3) Tujuan
d.
BAB II Pembahasan
1) ...
2) ...
e.
BAB III Penutup
1) Kesimpulan
2) Saran
f.
Daftar Pustaka
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Institusi dan
lembaga kepolisian, kehakiman, kejaksaan, dan pengacara, merupakan lembaga
hukum yang berhubungan erat dengan sistem hukum yang harus ditata dalam sebuah
struktur hukum yang sistemik. Komponen sistem hukum tersebut jika kita kaitkan
dengan kondisi hukum nasional kita saat ini sepertinya belum merupakan
pengejawantahan nilai-nilai Pancasila.
Penciptaan
berbagai peraturan perundang-undangan tidak saja membawa perbaikan tetapi
justru membingungkan dan membebani kehidupan masyarakat, sehingga membuat
masyarakat menjadi lebih apatis dan apriori terhadap hukum itu sendiri.
Sementara institusi dan aparatur hukum belum sepenuhnya menyentuh substansi justice,
yang merupakan harapan terakhir
masyarakat yang mencari keadilan. Sementara itu, arus reformasi yang
tidak terkendali (keblablasan) telah menciptakan masyarakat yang
beprilaku/berbudaya membabi buta. Kondisi keterpurukan tersebut telah
menjadikan Sistem Hukum kita seakan tidak berfungsi sebagaimana yang kita
harapkan bersama, yakni sebuah sistem hukum yang mampu dijadikan benteng
terakhir para pencari keadilan.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering terjebak dalam rutinitas penegakan hukum semata, lupa
dengan hal yang lebih penting dari sekedar penegakan hukum yakni berfungsinya
komponen sistem hukum secara optimal. Dengan semakin meningkatnya dimensi,
kuantitas, dan kualitas kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum dan
berkembangnya bidang-bidang hukum baru yang selama ini tidak dikenal, maka
sudah sepantasnya kita merenung untuk kembali mengoreksi sistem hukum kita,
seberapa besar nilai-nilai Pancasila yang merupakan warisan luhur bangsa kita
sebagai pedoman dalan Sistem hukum kita.
Sistem hukum Indonesia yang merupakan Implementasi dari
dari nilai-nilai Pancasila bertitik tolak dari konstitusi, the supreme law
of the land (hukum tertinggi), dengan mengerahkan segala potensi dan
kemampuan sumber daya yang kita miliki. Serta memperkirakan kondisi yang
mempengaruhi baik dalam skala nasional, regfional dan global. Dengan demikian,
diperlukan adanya kesamaan langkah dalam menetukan sistem hukum, untuk menjaga
berbagai produk hukum yang dilahirkan tetap berada dalam kesatuan system, dan
sekaligus untuk menghindari terjadinya penyimpangan dari sistem yang telah kita
sepakati bersama. Tanpa itu sistem hukum kita akan melahirkan produk hukum yang
menyimpang jauh dari yang dicita-citakan, baik dari aspek sosial politik,
sosial ekonomi, maupun sosial budaya.
Kita melihat hasil-hasil yang telah dicapai dalam bidang
hukum selama lebih dari setengah abad kemerdekaan, kita semua mengakui masih
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sebagai negara bekas jajahan, negara
kita sampai saat ini masih mewarisi sejumlah hukum yang berasal dari zaman
kolonial karena belum dicabut atau diperbaharui, dan kalaupun sudah
diperbaharui tidak lagi cocok dengan keadaan sekarang. Hukum yang dibuat
sesudah kemerdekaan pun tidak semuanya menunjang cita-cita terwujudnya Negara
berdasarkan atas hukum, demokrasi, dan penghormatan hak asasi manusia sperti
yang kita cita-citakan bersama. Sebagai
akibat dari praktek penyelenggaraan pemeritah negara, di mana seluruh elemen
sistem hukum mengalami degradasi, kini kita masih menghadapi krisis, bukan saja
krisis ekonomi tetapi juga krisis kepercayaan terhadap hukum dengan sekalian
institusinya. Hal ini tercermin, antara lain dalam bentuk kekerasan baik yang
bersifat vertical, berupa perlawanana terhadap ketidakadilan struktural, maupun
konflik horizontal berupa perlawanan terhadap ketidak adilan sosial, yang telah
menimbulkan berbagai konflik kekerasan yang menyangkut identitas dan etnisitas.
Hukum yang diharapkan berperan untuk menanggulagi berbagai permasalahan yang
sifatnya vertikal dan horizontal tersebut ternyata belum memberikan hasil yang
optimal. Salah satu sebabnya adalah hukum yang seharusnya berperan dalam
interaksi sosial, dengan memberikan pedoman dan pijakan dalam kehidupan dalam
masyarakat, ternyata dirasakan masih belum menjamin terwujudnya keadilan dan
kebenaran. Di sisi lain, pelaksanaan fungsi dan tugas penyelenggaraan
pemerintah negara belum sepenuhnya menggembirakan, karena masih dijumpai
berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang.
Untuk
mengembangkan pemikiran penulis, mengenai bagaimana mengimplikasikan/
mengejawantahkan Pancasila di dalam sistem hukum Indonesia?, maka terlebih
dahulu penulis menafsirkan judul makalah diatas, bahwa nilai-nilai Pancasila
harus mampu mempengaruhi sistem hukum Indonesia, atau implikasi sistem hukum
Indonesia didasarkan pada Pancasila.
Pertanyaan
”Bagaimana Pengimplikasian Pancasila di dalam sistem hukum Indonesia”, akan
terjawab apabila kita terlebih dulu memahami nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Untuk itu dalam pembahasan berikut akan diuraikan tentang
nilai-nilai Pancasila yang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara saat ini, nilai-nilai kepancasilaan kita seakan dikesampingkan dan
itu menjadi sebuah permasalahan yang serius bagi bangsa Indonesia, seiring
dengan derasnya arus globalisasi.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
nilai-nilai dan makna nilai yang terkandung dalam Pancasila?
2. Bagaimanakah
arah kebijakan hukum Indonesia dan sistem hukum dalam
Pancasila?
3. Bagaimana
kenyataan hukum di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
nilai-nilai dan makna nilai yang terkandung dalam Pancasila.
2.
Arah kebijakan
hukum Indonesia dan sistem hukum dalam Pancasila.
3.
Mengetahui kenyataan hukum di Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
A. Nilai-nilai
Yang Terkandung Dalam Pancasila
Nilai-nilai Pancasila sebagaimana dinyatakan dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 pada hakikatnya adalah pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum serta cita-cita moral hukum yang meliputi suasana kejiwaan serta
watak bangsa indonesia. Nilai-nilai pancasila memiliki sifat yang objektif dan
subjektif sekaligus, objektif berarti sesuai dengan objeknya, umum dan
universal yang mana dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
1. Rumusan dari sila-sila pancasila
menunjukkan adanya sifat-sifat abstrak, umum, dan universal.
2. Inti dari nilai-nilai pancasila akan tetap ada sepanjang masa
dalam kehidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain, baik dalam
adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan, maupun dalam hidup keagamaan dan
lain-lainnya.
3. Pancasila
yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 menurut ilmu hukum memenuhi syarat
sebagai pokok norma (kaidah) fundamental negara , tidak dapat diubah oleh orang
maupun lembaga manapun kecuali oleh pembentuk negara, in casu PPKI yang
sekarang sudah tidak ada lagi. ini berarti nilai-nilai pancasila akan abadi dan
objektif.
4. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 yang
menggantikan Ketetapan MPRS No. XX / MPRS / 1966 menegaskan bahwa
pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 adalah sumber hukum dasar
nasional, walaupun tidak disebut secara rinci apa yang dimaksud dengan
sumber hukum dasar nasional itu, dapat disimpulkan bahwa Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tetap memberi tempat yang tinggi pada pembukaan UUD 1945.
Artinya pembukaan UUD 1945 secara filsafat tidak mungkin dapat diubah, termasuk
oleh MPR hasil pemilu karena mengubah pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan
Negara hasil Proklamasi 17 Agustus 1945.
Selain pancasila memiliki nilai-nilai
yang bersifat objektif, pancasila juga memiliki sifat-sifat yang subjektif,
dalam arti keberadaan nilai-nilai itu bergantung pada bangsa Indonesia itu
sendiri yaitu :
1. Nilai-nilai
pancasila timbul dari bangsa Indonesia, sebagai hasil penilaian dan pemikiran
filsafat bangsa Indonesia.
2. Nilai-nilai
Pancasila merupakan Filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia yang paling
sesuai yang diyakini oleh bangsa Indonesia sebagai petunjuk yang paling baik,
benar, adil, dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
3. Nilai-nilai
pancasila mengandung keempat macam nilai kerohanian, yang manifestasinya sesuai
dengan sifat budi nurani bangsa Indonesia.
4. Nilai-nilai
Pancasila itu bagi bangsa Indonesia menjadi landasan atau dasar serta motivasi
segala perbuatannya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan
kenegaraan. Dengan kata lain nilai-nilai pancasila menjadi das sollen
diwujudkan menjadi kenyataan (das sein).
Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia memperjuangkan terwujudnya nilai-nilai pancasila itu dengan berbagai
macamcara dan tahap yang akhirnya mencapai titik kulminasi yaitu
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Proklamasi dengan demikian merupakan
perwujudan pula dari nilai-nilai pancasila itu.
B. Makna/arti Nilai Dalam
Pancasila
1. Nilai Ketuhanan
Nilai ketuhanan
Yang Maha Esa, mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap
adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa
indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang atheis. Nilai
ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk
agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku
diskriminatif antarumat beragama.
2. Nilai
Kemanusiaan
Nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku
sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati
nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.
3. Nilai
Persatuan
Nilai persatuan
indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk
membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan
Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman
yang dimiliki bangsa indonesia..
4. Nilai
Kerakyatan
Nilai
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.
permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.
5. Nilai
Keadilan
Nilai Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus
tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara
lahiriah maupun batiniah.
Nilai-nilai
dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif,
isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan
eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai
instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan
bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan
nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia.
C. Arah
Kebijakan Hukum Indonesia
Sejak lahir
hingga mati kita selalu berurusan dengan hukum atau tepatnya sistem hukum,
tidak ada waktu dan tempat yang terlewatkan dari sentuhan hukum. Begitu banyak
aturan (rule) dan peraturan (regulations) yang memperlakukan
persyaratan dan prosedur hukum, dari masalah hak dan kewajiban dalam keluarga
sampai masalah kelembagaan di tingkat nasional bahkan internasional. Dalam
hidup kita telah mengenal yang namanya polisi, jaksa, hakim, pengacara,
korupsi, kolusi, kekerasan pemerkosaan, perkawinan, percaraian dan sebagainya.
Jika kita berbicara tentang “sistem” maka tentu saja kita pahami sebagai suatu
organisasi yang terdiri dari berbagai unsur atau komponen yang selalu pengaruh
mempengaruhi dan keterkaitan satu dengan yang lainnya oleh satu atau beberapa
asas. Apabila kita menghubungan dengan topik sistem hukum maka organ yang akan
dibicarakan adalah organ hukum.
Donald Black
menyebutkan hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is the
governmental social control), sehingga system hukum adalah sistem kontrol
sosial yang didalamnya diatur tentang struktur, lembaga, dan proses kontrol
sosial tersebut. Walaupun demikian ia mengakui tidak semua kontrol social
adalah hukum, kontrol sosial yang bukan hukum adalah sifat tidak resmi karena
tidak memiliki daya paksa.
Sementara itu,
Lawrence M. Friedman mengatakan sistem hukum tidak saja merupakan serangkaian
larangan atau perintah, tetapi juga sebagai aturan yang bisa menunjang,
meningkatkan, mengatur, dan menyungguhkan cara mencapai tujuan. Dia juga
percaya bahwa hukum tidak saja mengacu pada peraturan tertulis atau kontrol
sosial resmi dari pemerintah, tetapi juga menyangkut peraturan tidak tertulis
yang hidup ditengah masyarakat (living law), menyangkut struktur,
lembaga dan proses sehingga berbicara tentang hukum, kita tidak akan terlepas
dari pembicaraan tentang sistem hukum secara keseluruhan.
Keberhasilan suatu sistem hukum yang
terpenting adalah kualitas, baik kualitas peraturan yang dibuat maupun kualitas
implementasinya. Dalam kaitan ini maka menjadi penting pula nilai-nilai
Pancasila menjadi pedoman sistem hukum yang menyangkut kelembagaan hukum,
seperti kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan organisasi profesi hukum,
termasuk sumber daya manusianya serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat
yang akan mencerminkan rasa patuh dan taat kepada hukum.
Arah kebijakan hukum nasional, antara
lain untuk menata system hukum yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundangundangan
warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan
jender dan ketidak sesuainya dengan tuntutan reformasi melalui program
legislasi. Sebagai pedoman ditentukan pula 10 (sepuluh) arah kebijakan yang
ditempuh, khususnya dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin
tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan
kebenaran, yaitu:
1. Mengembangkan budaya
hukum disemua lapisan masyrakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum
dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang
menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum
adap serta memperbaharui perundang-undang warisan kolonial dan hukum nasional
yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan jender dan ketidaksesuainya dengan
tuntutan reformasi melalui program legislasi.
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai HAM.
4. Melanjutkan ratifikasi konvensi
internsional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang.
5. Meningkatkan integritas moral dan
keprofesional aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, untuk menumbuhkan
kepercyaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahtreaan, dukungan sarana
prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang
mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.
7. Mengembangkan peraturan
perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomin dalam menghadapi era
perdangagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara
cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme
dengan tetap menunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.
9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran,
serta meningkatkan perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi mansuia
dalam seluruh aspek kehidupan.
10. Menyelesaikan proses peradilan terhadap
pelanggaran hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas.
Arah kebijakan hukum tersebut perlu
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dan dilaksanakan sebaik-baiknya, bukan
saja oleh kalangan hukum tetapi juga seluruh masyarakat pada umumnya, Untuk
mencapai tujuan atau sasaran tersebut, maka kita harus menempatkan hukum pada
prioritas pertama.
D. Sistem Hukum Indonesia
Menurut Prof Padmo Wahyono, sistem
hukum Indonesia mengandung tiga cabang utama hukum yaitu hukum warisan Belanda,
hukum adat dan hukum Agama (Islam). Secara teoritis dan empiris, sistem hukum
Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang merupakan cerminan dari hasil interaksi antara
pemikiran Hans Kelsen tentang teori jenjang Norma (Stufentheorie), dan
teori jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufentordung der Rechtsnormen).
Jadi norma hukum, yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan
berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma itu berlaku selalu
bersandarkan pada norma tertinggi. Dalam UUD 1945, dengan jelas bahwa Pancasila
adalah sebagai norma dasar negara (Staatsfundamentsalnorm). Sistem hukum
Indonesia yang berlaku seperti sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Islam, Sistem
Hukum Kolonial dan Sistem Hukum Nasional.
Pancasila sebagai jiwa atau ruh
dimaknai sebagai nilai dan norma tertinggi yang bersifat luhur. Kedudukannya
dalam sistem hukum Indonesia, Pancasila merupakan cita hukum (rechtidea),
bukan cita-cita atau kehendak kongkrit. Oleh sebab itu, cita hukum yang
terkandung di dalamnya, tidak pernah akan mati atau tidak relevan dengan
keadaan zaman. Pancasila sebagai idiologi akan tetap hidup dalam masyarakat,
meskipun berbagai perubahan dan goncangan menghadangnya.
Bila kita perhatikan tentang
nilai-nilai universal dalam Pancasila, dimulai dengan Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang di
pimpin oleh hekmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka bangsa Indonesia sepakat untuk mempertahankan dan mengamalkannya.
Sila
pertama,
sebagai dasar kehidupan beragama di Indonesia tidak tergoyahkan sekalipun
ajaran HAM, khususnya ICCPR (International Convention on Cultural and Political
Rights) dan juga ICSER (Intenational Convention on Social and Economical
Rights). Kehandalan sila pertama ini, juga dibuktikan melalui
sikap dan penolakan bangsa Indonesia terhadap pencabutan Tap. MPR No.
XXV/MPRS/1965 tentang pelarangan penyebar luasan ajaran marxis dan komunis.
Kehadiran sila pertama ini, merupakan landasan filosofis dan juridis tentang
adanya kewajiban bagi warga negara untuk memeluk salah satu agama. Dalam
khazanah budaya Indonesia, ternyata nilai ke-Tuhanan tersebut tidak saja
dibatasi dalam realitas agama yang diakui negara, melainkan juga isme-isme atau
kepercayaan yang hidup dalam masyarakat lokal. Ajaran agama kuring,
ajaran tolotang di Toraja, aliran kepercayaan atau kebatinan, atau
kejawen. Dalam salah satu tafsiran dari UUD 1945, pasal 29, ayat (2),
sesungguhnya yang dimaksud dengan kepercayaan adalah kembali kepada ajaran agamanya.
Namun, dipihak lain, kepercayaan itu, adalah nilai nilai yang tumbuh sebagai
unsur magis religious dari suatu masyarakat. Sama halnya, fenomena meruyaknya
Penegakan Syariat Islam (PSI) merupakan wujud dari kehendak masyarakat Islam
untu merealisasikan dan mengamalkan Islam, baik dalam aspek publik dan privat,
tanpa harus bertentangan dengan konsep negara hukum.
Sila kedua, merupakan nilai universal yang berlaku disemua negara
dan bangsa. Dasar kedua ini sebenarnya merupakan perwujudan dari pengakuan bangsa
Indonesia sebagai nation state, yang menempatkan diri sejajar dengan
negara-negara modern lainnya. Dalam hukum internasional, kedudukan kemanusian
yang adil dan beradab tersebut merupakan cerminan dari prinsip-prinsip umum
hukum yang diakui oleh negara-negara beradab (General Principles of Law
Recognized by Civilized Countries). Sebagai negara yang berdaulat,
Indonesia mengakui asas tersebut, akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya
menjadi relatif, mengingat kedaulatan nasional dalam situaasi tertentu harus
lebih diutamakan. Pelaksanaan hukuman mati atas kejahatan yang sangat mengancam
kelangsungan dan keselamatan dan keamamanan masyarakat, masih diberlakukan di
Indonesia, meskipun secara diametral bertentangan dengan konvensi internasional
tentng penyiksaan dan hukuman mati. Namun, karena sistem hukum pidana Indonesia
yang diperkuat dengan beberapa ketentuan hukum agama (Islam) yang hidup dalam
masyarakat, maka nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab tersebut
diaplikasikan pada penerapan hukum dengan suatu proses peradilan. Kejahatan
terorisme, narkoba, dan juga kejahatan genocide, kejahatan perang dan kejahatan
agresi merupakan kejahatan HAM yang tidak dapat ditolelir. Karena itu, bagi
negara Indonesia yang menerapkan sanksi pidana mati dan cambuk di Aceh tidaklah
disamakan sebagai negara tidak beradab, melainkan justru lebih menujukan pada
jati diri hukum Indonesia yang memiliki kedaulatan penuh.
Sila ketiga menunjukkan adanya integritas teritorial yang utuh.
Setiap uapaya dari suatu daerah untuk memisahkan diri atau membuat pemerintahan
sendiri berakhir dengan kegagalan. Memang setiap suku bangsa sebagaimana
ditegaskan oleh Piagam PBB mempunyai hak dasar untuk menentukan nasib sendiri
atau self-determination. Namun, dalam realitasnya hak tersebut tidak selalu
diartikan dengan pembuatan pemerintahan sendiri. Dalam hukum internasional
kontemporer, self-determination, dapat berwujud pemerintahan khusus atau
istimewa, mendirikan bentuk negara federal. Dan yang terakhir, memsiahkan diri
untuk membuat pemeritntahan baru (self-governing). Kasus provinsi khusus
Nangro Aceh Darussalam setelah ditandatanganinya MoU 15 Agustus 2005 di
Helsinki, menunjukkan akan praktek self-determination, dalam wadah kesatuan
NKRI. Karena itu, ketidak puasan daerah seperti Aceh yang melahirkan GAM telah
melelahkan kita semua, dan setelah puluhan tahun bergolak baru kali ini kembali
damai.
Sila Keempat, merupakan subtansi demokrasi yang telah berlangsung
sejak zaman Yunai kuno hingga zaman modern sekarang. Sila keempat ini adalah
jelas mendapatkan pengakuan dari nilai global demokrasi dengan nilai-nilai
luhur ajaran agama. Di satu pihak ditegaskan bahwa musyawarah mufakat adalah
inti demokrasi dimana semua pihak termasuk rakyat secara sejajar dapat
mengambil peran dalam proses pengambilan putusan. Dan di pihak lain,
permusyawaratan dalam konteks demokrasi sebagai wujud dari adanya model
kepemimpinan yang dalam proses penentuannya diberikan kepada rakyat.
Persoalan apakah semua rakyat dapat memiliki hak untuk
dipilih atau tidak adalah kembali kepada tatatan nasional dan tatanan
masyarakat lokal. Dalam kasus kepemimpinan DIY, seorang gubernur dipilih oleh
DPRD tingkat provinsi merupakan suatu pengecualian yang mendapatkan pembenaran
dari konstitusi dan undang-undang No 32 tahun 2005. Jika selama ini esensi
demokrasi dalam sistem pemerintahan ditentukan oleh seberapa jauh warga negara
mempunyai hak politik untuk dipilih dan memilih, maka dalam situasi seperti di
Yogyakarta, hak-hak politik warga negara untuk dipilih menjadi dibatasi.
Pembatasan hak politik ini seperti memang dilihat dari segi HAM tidaklah
dibenarkan, namun karena kesepakatan masyarakat Yogyakarta, pilihan atas Kepala
Daerah harus berasalkan dari keluarga kerajaan mendapatkan pembenaran hukum
secara lokal dan nasional.
Sila Kelima, adalah asas universal yang telah menjadi reason d’etre
akan adanya tujuan negara. Dalam hampir seluruh negara, tujuan untuk mewujudkan
masyarakat yang cerdas, sejahtera, terbebabas dari rasa takut dan miskin, dan
menjamin kesejahteraan sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu, sila kelima tersebut
menjadi bagian yang menempatkan negara berkuajiban untuk mengupayakan
teciptanya suatu masyarakat yang sejahtera secara sosial dan ekonomi
. Justice
for all dalam kaidah dasar kehidupan masyarakat demokratis dewasa ini harus
diwujudkan dalam sistem hukum nasional, yang menempatkan prinsip-prinsip
non-diskriminatif, netralitas atau impartsiality, profesionalitas dan
proporsionalitas, transparancy dan penuh akuntabilitas atau pertanggungjawaban.
Seberapa jauh pemerintah mewujudkan sistem hukum nasional sebagai implementasi
dari Pancasila tampak dari terciptanya kedamaian dan kesejahteraan masyarakat
Indonesia secara lahir dan batin. Nilai-nilai Pancasila sebagai sukma atau ruh
idiologis bangsa memiliki sifat dan hakikat yang pelaksanaanya dinamis dan
fleksibel. Dalam keadaan tertentu telah memberikan ruang secara khusus agar
eksistensi sistem hukum nasional tetap dapat memberi perlindungan kepada
seluruh masyarakat.
E.
Kenyataan Hukum di Indonesia
Contoh nya saja sepertinya kasus
kasus yang beterbangan di negara ini benar-benar beraneka ragam dengan
keanehannya masing-masing. Seperti contohnya kasus yang baru saja terjadi di
daerah Banyumas, Jawa Tengah. seorang nenek yang ketahuan mencuri 3 biji kakao
di daerah perkebunan yang akan dijadikan bibit dan sekarang nasibnya terancam
hukuman percobaan 1 bulan 15 hari. Miris rasanya hukum di negara ini. Memang
yang namanya pencurian tetap suatu kesalahan seberapapun besar kecilnya bila
dipandang perlu ditindak lanjuti silahkan saja. Hanya saja yang jadi tak
berimbang di sini adalah, seorang nenek nenek yang hanya mencuri 3 biji kakao
harus berhadapan dengan meja hijau tanpa di dampingi pengacara karena tidak
adanya kemampuan finansial untuk membayar jasa pengacara. Sementara koruptor
maling uang rakyat yang bermilyar milyar bahkan trilyunan bebas berkeliaran
tanpa penyelesaian yang jelas. Mafia mafia peradilan, makelar makelar kasus
bisa bebas berkeliaran dan hidup bermewah mewah. Memang benar bahwa semua itu
sebagai proses peringatan supaya tidaklah menjadi contoh bagi yang lain dalam
tindak pencurian. Tapi, apakah proses peradilan yang seadil-adilnya bagi
koruptor dan para mafia peradilan tidak bisa ditegakkan seperti petugas hukum
menindak tegas maling-maling ayam dan maling-maling lainnya.dalam undang-undang Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sistem hukum
nasional menjelaskan tentang berbagai unsur yang secara terpadu dan sinergis
berinteraksi untuk dapat mewujudkan suatu bentuk peraturan hukum efektif dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun, karena sifat dari sistem hukum
itu sendiri secara inheren dinamis, maka dengan sendirinya faktor-faktor yang
dapat mempengaruhinya tidak seluruhnya diterima. Melainkan ada proses
penyaringan yang didasarkan pada kekuatan nilai-nilai universal yang terkandung
dalam Pancasila. Sebagai idiologi negara, kesepakatan politik secara nasional
dari warisan the Founding Fathers ini, menimbulkan kewajiban hukum dan
moral untuk mematuhinya sebagai implementasi dari nilai-nilai Pancasila. Karena
Pancasila dipandang sebagai roh sistem hukum nasional dan fungsi dari idiologis
Pancasila itu memiliki kemampuan menyaring budaya hukum yang tidak sesuai
dengan tatanan masyarakat Indonesia.
Sampai abad
ke-14 penduduk dikepulauan Nusantara ini hidup dalam suasana hukum adat
masing-masing daerah. Asas penting dalam kehidupan adat adalah sifat kekeluargaan
(komunalitas). Dengan masukknya agama Islam ke Indonesia, banyak daerah adat
yang meresap unsur-unsur agama Islam dalam kehidupan hukum adatnya. Demikian
juga ketika abad ke-17 bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda datang, selain
produk hasil industrinya, mereka juga mempengaruhi masyarakat setempat dengan
ajaran agamanya sehingga hukum adat di daerah-daerah tersebut diresapi oleh
ajaran agama Kristen Protestan dan Kristen Katholik. Secara sistemik sistem
hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum yang bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945. Karena pluralisme hukum tidak dapat dipertahannkan, maka unsur-unsur
hukum adat dan agama ditranformasikan atau menjadi bagian dari Sistem Hukum
Nasional, yang akhir abad ke-21 ini telah berkembang tidak saja terdiri dari
bidang-bidang reguler seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Administrasi
Negara, Hukum Tata Negara, tetapi telah berkembang pesat khususnya menyangkut
hukum lingkungan, hukum ekonomi, hukum kesehatan, computer (cyberlaw) dan
sebagainya.
Sistem hukum
yang dianut Indonesia sampai saat ini adalah sistem hukum peninggalan Kolonial
yang berlandaskan Sistem Hukum Eropa Kontinental, walupun kita tidak pernah
mengabaikan keberadaan Sistem Hukum Agama (Islam) dan Sistem Hukum Adat yang
berlaku dalam masyarakat. Berkembangnya struktur sistem hukum di dunia yang
umumnya bertitik tolak dari keberadaan 2 (dua) sistem hukum terkenal yaitu
sistem Hukum Kontinental dan sistem hukum Anglo-Saxon, memberikan legitimasi
kebijakan-kebijakan yang berskala global. Indonesia mau tidak mau terlibat di
dalamnya dan pengaruh globalisasi telah memasuki kehidupan hukum kita.
Terkadang, kita tidak bisa mengelak dari tekanan globalisasi, dengan mengamabil
”mentah” ketentuan dan norma hukum asing untuk dijadikan norma dan ketentuan
hukum kita dengan cara ”harus” meratifikasi, padahal kita tahu bahwa ketentuan
hukum tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Sehingga yang terjadi dalam pengimplementasian mengalami banyak
kendala atau bahkan merugikan kehidupan kita sebagai bangsa.
Sistem Hukum
Nasional kita berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dipengaruhi oleh
Sistem Hukum Kolonial. Walaupun setelah kemerdekaan, kita berusaha mencari
Sistem Hukum Nasional Indonesia, yakni sistem hukum yang berlandaskan
nilai-nilai Pancasila yang dipengaruhi sistem hukum adat nusantara yang telah
lama tumbuh dan berkembang di nusantara, namun sampai saat ini belum kita
temukan. Yang kita kenal sistem hukum kita sekarang adalah sistem hukum
campuran, karena dalam realitas hukum kita di Indonesia memberlakukan : (1)
Perundang-undangan (ciri Eropa Kontinental), (2) Hukum Adat (Customary Law),
(3) Hukum Islam dan Eksistensi Peradilan Agama (ciri Muslim Law), (4) Hakim
Indonesia didalam praktek mengikuti ”Yurisprudensi” (ciri Command Law).
Nilai Pancasila
yang memiliki sifat objektif, yakni umum dan universal telah mampu mempengaruhi
seluruh sistem hukum yang ada di dunia termasuk Sistem Hukum Indonesia, tetapi
untuk mengimplementasikan Pancasila ke dalam Sistem Hukum tidak mudah dan banyak
kendala salah satunya adalah pengaruh globalisasi yang memaksa kita sebagai
bagian dari bangsa-bangsa di dunia mau tidak mau harus ikut aktif didalamnya.
Dengan keikut sertaan kita ke dalam percaturan dunia memaksa kita harus
mengambil/mengadopsi sistem-sistem yang ada di dunia termasuk salah satunya
Sistem Hukum. Jadi menurut penulis Sistem Hukum Indonesia saat ini belum/tidak
seluruhnya implementasi dari Pancasila. Karena nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, yang merupakan hasil filsafati yang mendalam oleh bangsa
Indonesia belum/tidak seluruhnya di implementasikan/diejawantahkan ke dalam
Sistem Hukum Indonesia. Dalam Pasal 27 ayat 1 dikatakan “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
B. SARAN
Berdasarkan pembahsan diatas maka untuk mengimplementasikan pancasila dalam hukum pidana dengan cara sebagai berikut :
1. Muladi memberikan patokan-patokan karakteristik yang harus diperhatikan dalam membuat kebijakan hukum pidana yang akan datang, yaitu : pertama, hukum pidana nasional mendatang yang dibentuk harus memenuhi pertimbangan sosiologis, politis, praktis dan juga dalam kerangka ideologis Indonesia; kedua, hukum pidana nasional mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang bertalian dengan manusia, alam, dan tradisi dalam Indonesia; ketiga, hukum pidana nasional mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan–kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab;keempat, karena sistem peradilan pidana, politik criminal dan politik hukum merupakan bagian dari politik sosial maka hukum pidana nasional mendatang harus memperhatikan aspek-aspek yang bersifat preventif; kelima, hukum pidana nasional mendatang harus harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan efektifitas fungsinya dalam masyarakat.
Apa yang di kemukakan oleh Muladi di atas, sebenarnya merupakan internalisasi atau implementasi nilai-nilai pancasila dalam pembaharuan hukum pidana.
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka upaya fungsionalisasi hukum pidana (materil dan formil-pen) juga harus secara sungguh-sungguh memperhatikan :
a. Tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan hal itu maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau yang akan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian meteril dan spiritual bagi warga masyarakat
c. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kepastian atau kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan bebab tugas (over belasting).
2. Penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan cita-cita hukum bangsa yang bersangkutan (Proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945). Artinya, penegakan hukum tersebut haruslah disesuaikan dengan falsafah, pandangan hidup, kaidah dan prinsip yang di anut oleh masyarakat yang bersangkutan, shingga akan sesuai dengan kesadaran hukum yang mereka miliki. Untuk itu penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai yang di junjung tinggi oleh masyarakat, yang bagi masyarakat Indonesia nilai-nilai tersebut , antara lain nilai ketuhanan, keadilan, kebersamaan, kedamaian, ketertiban, kemodernan musyawarah, perlindungan hak-hak asasi dan sebgainya. Tentunya sebagai negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental, sedapat mungkin nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam bentuk undang-undang termasuk dalam hal nilai dan kaidah penegakan hukumnya. jadi nilai-nilai luhur dari pancasila seperti keadilan, kemanusiaan dan hak asasi manusia (martabat manusia), kepastian hukum, kemanfaatan dan persatuan bangsa harus diinternalisasi dalam dinamika praktik penegakan hukum.
3. Meningkatkan kesadaran hukum dan dasar negara dalam msyarakat, penegak hukum dan pembuat kebijakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam hukum pidana
4. serta perlunya dukungan, partisipasi atau peran serta masyarakat dalam penegakan hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.
Langganan:
Postingan (Atom)